Rabu, 18 Maret 2009

Ddduhhhh....(2)


Ahhh...leganya klo udah sembuh.
Kemarin beberapa hari sempat diare, tetapi skarang udah mendingan, udah bisa mulai beraktifitas sehari-hari, apalagi klo bukan jalan kesana kemari sambil gangguin bunda.


Klo aq udah liat ayah atau bunda lagi berbaring, aq paling suka menduduki kepala ayah dan bunda. Ayah dan bunda paling hanya bisa bersorak-sorak sambil mencubit pantatku yang berada di atas wajahnya.


Sekitar dua hari kemarin kata bunda aq memang kurang aktif, baik secara fisik maupun secara audio, maksudnya aq kurang bergerak dan banyak diam aja. Tapi gak rewel juga, cuma kelihatan malas dan tak bergairah aja.


Tapi sekarang semua itu udah berlalu. Hal ini dibuktikan dengan unjuk kemampuan aq memanjat bangku kecil tanpa bertumpu ke dinding. Bangku kecil dari plastik yang berbentuk empat persegi tanpa sandaran setinggi lebih kurang 20 cm aq letakkan di tengah tikar kasur di ruang tengah. Walau agak susah tetapi aq berhasil menaikinya dan berusaha untuk mencoba berdiri, tetapi ayah keburu datang dan langsung menopang pantat aq sehingga aq bisa bertumpu untuk berdiri.


Aaaahhh.....aq pun berteriak kegirangan sambil bertepuk tangan.....yang diikuti oleh ayah dan bunda yang menyaksikan aq. Tapi sayang ayah tadi ikut andil dalam keberhasilan ini.


Selain itu, kemampuan memanjatku juga makin berkembang, aq juga udah mulai memanjati baby walkerku dulu yang udah gak kepakai lagi, jadi sekarang dimanfaatkan oleh ayah sebagai penghalang dari ruang tengah ke dapur, dibantu dengan kotak bekas speaker yang cukup besar, lebih tinggi dari aq dan lebih lebar dari jangkauan kedua tangan aq. Kotak dan baby walker di susun berderet sehingga aq tidak bisa lewat. Tetapi, antara kotak dgn baby walker ada sedikit celah yang biasa aq gunakan untuk melewati barikade ini. Sekarang aq tidak melewati celah itu lagi, tetapi langsung memanjati baby walker tsb, walau belum pernah berhasil karena ayah atau bunda udah duluan menggendong aq dan meletakkan kembali ke ruang tengah.


Tapi aq berjanji...suatu saat aq harus berhasil memanjatinya...

Bakteri Baik Selamatkan Bayi dari Diare




KOMPAS.com - Kehadiran buah hati yang sehat dan cerdas merupakan dambaan para orang tua . Sayangnya, proses tumbuh kembang si kecil kerapkali terganggu oleh berbagai masalah kesehatan. Salah satu gangguan kesehatan yang banyak diderita bayi dan anak-anak berusia di bawah lima tahun adalah diare dan alergi.


Cut Fabiayya, misalnya, menderita alergi dan mencret saat baru berusia lebih dari satu bulan. Bagian pipinya ruam merah. Ia juga mencret berulang kali dalam sehari. Padahal, begitu pulang dari rumah sakit, ia mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif dari ibunya.


Setelah diperiksa dokter, ternyata ia menderita alergi. Bakat alergi itu berasal dari kedua orang tuanya yang menderita asma. Penyebabnya, selama menyusui, ibunya mengonsumsi susu untuk ibu menyusui dan beberapa jenis makanan yang berpotensi menimbulkan alergi. Untuk mengurangi risiko alergi, selama menyusui, Rifsia, ibu dari Cut Fabiayya, lalu pantang makan ikan laut, kacang tanah, dan telur.


Hal serupa juga dialami Raka Pratama saat menginjak usia lima bulan. Karena sampai dua hari setelah lahir ASI ibunya belum keluar, Raka kemudian diberi susu formula. Beberapa hari kemudian, ia menderita panas tinggi, kulitnya kemerahan terutama di bagian muka, kaki dan badan. Setelah diberi antibiotik, Raka malah mencret sampai 15 kali dalam sehari, tinja yang keluar berlendir dan bercampur dengan sedikit darah, dan pada tubuhnya keluar bercak-bercak merah.


Karena ibunya memiliki riwayat menderita asma, dokter mulai mencurigai adanya gejala alergi susu sapi sehingga disarankan agar susu formula yang biasa dikonsumsi Raka diganti dengan susu formula berbahan dasar kedelai. Setelah diobati dan berganti jenis susu, diarenya cepat sembuh. "Bercak kemerahan pada kulit Raka juga hilang," kata Ny Titin, nenek dari Raka yang sehari-hari tinggal di Ciledug, Tangerang.



Awal kelahiran

Masalah diare dan reaksi alergi dialami bayi-bayi dan kelompok anak berusia di bawah lima tahun di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Bila tidak segera diatasi, bayi dan anak balita yang menderita diare dan alergi akan terganggu proses tumbuh kembangnya pada periode emas pertumbuhan.


Hasil penelitian yang dilakukan Prof Bengt Björkstén dari Institut Karolinska Swedia Björksté n pada tahun 2001 membuktikan, bayi-bayi penderita alergi terbukti mempunyai lebih sedikit Bifidobakteria pada feses atau tinja hingga mereka berusia lima tahun. Sejumlah riset dalam 10 tahun terakhir juga membuktikan perbedaan mencolok komposisi mikrobiota bayi sehat dan alergi di negara-negara dengan prevalensi alergi rendah dan tinggi.


Menurut Bengt Björkstén, pengaruh kondisi awal kelahiran, termasuk cara kelahiran dan penggunaan antibiotik, mempunyai efek sangat besar terhadap pola mikroflora (jasad renik berukuran kecil seperti bakteri dan jamur) saluran cerna. Mikroflora itu sangat penting untuk merangsang sistem daya tahan tubuh dalam kondisi normal, ujarnya menegaskan.


Hasil penelitian (Gronlund et al, Clin Exp Allergy 1999) memperlihatkan, keberadaan bakteri menguntungkan seperti Bifidobakteria pada bayi yang lahir cesar akan tertunda, dan dibutuhkan waktu hingga 6 bulan untuk menyamai bayi yang lahir normal. Oleh karena, bayi yang lahir cesar akan steril dari bakteri baik saat dilahirkan, sedangkan bayi lahir normal telah terpapar bakteri ketika dilahirkan.


Padahal bakteri baik seperti Bifidobakteria (kelompok bakteri menguntungkan atau probiotik di saluran cerna) yang diperoleh pada periode awal kelahiran, diperlukan untuk mengenali dan membentuk toleransi terhadap zat-zat asing yang masuk ke tubuh. Dominasi Bifidobakteria dalam saluran cerna terbukti dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga bisa membantu kekebalan lokal di daerah pencernaan pada bayi.


"Pentingnya peranan bakteri menguntungkan ini menjelaskan mengapa bayi yang dilahirkan secara cesar dilaporkan memiliki angka kejadian alergi dan infeksi yang lebih tinggi," kata Kepala Divisi Gastrohepatologi Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Prof Agus Firmansyah.



Probiotik

Sejumlah penelitian secara klinis menunjukkan, pemakaian beberapa jenis probiotik memberi efek sedang untuk mengatasi eksim pada bayi . Hal ini menarik untuk mengetahui potensi pencegahan alergi dengan mempengaruhi mikroflora saluran cerna melalui pemberian probiotik mikroorganisme non patogen yang memberi manfaat bagi yang mengonsumsinyapada bayi. "Tidak semua bakteri adalah probiotik," ujar Björksté n.


Penggunaan mikroorganisme yang bermanfaat bagi kesehatan telah digunakan sejak lama dan telah terbukti keamanan penggunaan probiotik, bahkan pada bayi dan subjek yang daya tahannya agak lemah. Air susu ibu merupakan sumber alami probiotik. Ini menunjukkan pentingnya peranan probiotik sejak awal kelahiran. Bayi lahir normal yang diberi ASI akan makin sehat karena bakteri probiotik mendominasi mikrobiota saluran cerna, kata Agus.


Maka dari itu, beberapa tahun belakangan ini bakteri probiotik mulai diberikan kepada bayi dan balita dengan memperhatikan aspek keamanan. Hanya preparat probiotik yang sudah diuji secara intensif dan terbukti aman yang boleh diberikan. Probiotik Bifidobacterium lactis merupakan salah satu probiotik yang dinyatakan aman oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan Amerika Serikat atau US-FDA, ujar Björkstén.


Sebagian besar riset tentang probiotik untuk anak-anak difokuskan pada pencegahan diare, kolik intoleransi laktosa, baru kemudian alergi. Pada tahun 1994, Saavedra dkk melaporkan penurunan drastis angka kejadian diare pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit yang diberi probiotik dibandingkan kelompok yang tidak memperoleh probiotik.


Sejauh ini, ada empat penelitian terkontrol menggunakan plasebo yang memberi kan probiotik pada bayi usia 6-12 bulan. Tiga penelitian itu memperlihatkan pengurangan eksim pada anak-anak itu. Hasil temuan itu akan mendorong lebih banyak penelitian lanjutan untuk membuktikan bahwa pemberian probiotik akan mengurangi angka kejadian a lergi pada saluran napas di masa kanak-kanak.


Penyakit alergi itu bersifat kompleks dan penyebabnya multifaktorial. Probiotik telah diteliti untuk membantu mengurangi risiko munculnya reaksi alergi pada bayi. Penelitian itu masih berada di tahap awal dan hasilnya cukup menggembirakan yaitu muncul efek perlindungan signifikan dari probiotik untuk mencegah timbulnya atopik dermatitis .


"Memahami ekologi mikroba membuka cara baru untuk pencegahan dan terapi," kata Björkstén. Bersahabat dengan kelompok bakteri baik diharapkan bisa mengurangi risiko diare dan alergi pada bayi dan balita yang pada akhirnya akan mengoptimalkan tumbuh kembang sang buah hati.




kompas.com
Senin, 16 Maret 2009 | 21:27 WIB

Alergi Susu Sapi? Beri Susu Hidrolisis




SUSU merupakan makanan utama bayi. Yang terbaik tentu saja air susu ibu (ASI). Sayang, tidak semua bayi bisa mendapat ASI. Sebagai gantinya, susu formula yang diberikan kepada si bayi. Namun, tidak semua bayi bisa menerima susu tersebut karena timbul reaksi alergi.

Sita merasa bingung. ASI-nya tak mau keluar. Padahal, anaknya, Dea, belum lagi berusia 6 bulan. Ia kemudian menggantinya dengan susu formula. Namun, Dea malah mengalami diare dan warna kemerahan di kulitnya. Setelah berkonsultasi ke dokter, baru ketahuan kalau Dea alergi susu sapi.

Sekitar 2-3 persen bayi berusia 0-3 tahun mengalami alergi susu sapi (ASS). Sekitar 28 persen gejala alergi timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41 persen setelah 7 hari, dan 68 persen setelah 1 bulan. ASS ini, dikatakan Dr Zakiudin Munasir, Sp A-KAI, konsulen alergi imunologi anak dari FKUI, hanya terjadi pada anak yang mempunyai bakat atopik atau alergi. Hal ini terjadi karena adanya antibodi di tubuh sang anak.

Antibodi ini, yaitu imunoglobulin E (IgE), dibentuk pada orang yang memiliki bakat alergi. IgE akan bereaksi terhadap protein susu sapi. Protein ini dianggap sebagai benda asing oleh tubuh. Dengan kata lain, tubuh sang anak hipersensitif terhadap protein susu sapi.

Setidaknya ada 20 protein dalam susu sapi yang bisa merangsang terjadinya alergi. “Tetapi, yang sering itu adalah beta laktoglobulin,” ujar Kepala Divisi Alergi Imunologi Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI ini.


Belum sempurna

Kasus ASS paling sering terjadi pada usia bayi hingga 3 tahun. Ini karena, menurut konsulen alergi imunologi lulusan Academisch Ziekenhuis Groningen, Belanda itu, sistem pencernaan pada bayi, terutama yang baru lahir usia 2-3 tahun, masih belum sempurna. Hal tersebut membuat protein yang dikenali sebagai alergi akan diserap secara utuh dan tidak dipecah oleh saluran cerna.

Sejalan dengan pertambahan usia, pada saat memasuki usia 2-3 tahun, saluran cernanya sudah mulai matang. Di waktu yang bersamaan, enzim pencernaan pun telah terbentuk dengan baik. Imunoglobulin A sekretorik yang berguna menangkal protein asing juga sudah terbentuk sempurna. Pada 85 persen bayi yang mengalami ASS akan menghilang (toleran) sebelum usia 3 tahun.

“Bayi yang sudah toleran ini terjadi karena protein sudah dipecah-pecah. Sifat alergi dari protein yang ada pada susu sapi pun sudah hilang,” ujar Dr Zaki.

ASS disebut Dr Zaki sebagai salah satu jenis alergi yang bisa hilang. Gejala awal alergi pada bayi biasanya adalah gejala kulit seperti eksim maupun timbul warna kemerahan. Timbulnya ruam kemerahan pada kulit bayi juga bisa terjadi pada bayi yang mendapat ASI.

Ruam tersebut kerap dikira berasal dari ASI. Padahal, tidak demikian. Besar kemungkinan karena sang ibu mengonsumsi susu sapi maupun produk olahannya. Alergennya masuk ke ASI dan kemudian diisap oleh bayi dan menimbulkan reaksi alergi. Untuk itu, sang ibu harus menghindari susu sapi serta produk olahannya.


Tindakan antisipasi

Terjadinya reaksi alergi bisa diketahui dari gejala yang ditimbulkan. Untuk meyakini alergi yang timbul, bisa dilakukan beberapa tes pada bayi. Tes yang umumnya digunakan adalah tes pada kulit (lewat uji kulit gores, uji tusuk, dan uji kulit intraderma) ataupun tes darah.

Meski demikian, menurut Dr Zaki, uji kulit pada anak berusia kurang dari satu tahun kerap memberi hasil negatif yang palsu. Pengujian juga bisa dilakukan dengan menghindari susu sapi selama 2-3 minggu untuk kemudian memprovokasi makanan terbuka. Istilahnya uji eliminasi dan provokasi.

Dalam tes tersebut, setelah gejala berkurang, anak kemudian diberi susu sapi secara bertahap hingga tercapai jumlah susu yang diminum. Bila setelah 2 jam tidak timbul gejala, berarti hasil uji provokasi negatif. Tes ini sering dilakukan pada anak berusia di bawah 3 tahun.

Sebenarnya orangtua bisa mengantisipasi timbulnya alergi pada anak. Terutama bila ada riwayat alergi atau asma pada salah satu dari orangtua atau malah keduanya. Sebagai gambaran, jika orangtua alergi, kemungkinan anaknya menderita alergi adalah sekitar 80 persen. Bila hanya ibu yang mengalami alergi, kemungkinan anak mewarisi alergi sekitar 50 persen.

Bila demikian, pemberian susu sapi ada baiknya dihindari. Sesungguhnya hal tersebut tidak terlalu bermasalah pada ibu yang memberi ASI. Sang ibu saja yang menghindari susu sapi dan produk olahannya. Namun, masalah akan terjadi bila ibu tidak bisa memberi bayi.


Beri ASI

Bayi lebih baik diberi susu yang telah mengalami hidrolisis atau hidrolisat. Ada yang dihidrolisis sempurna dan ada yang hanya dihidrolisis parsial atau sebagian. Pada susu yang dihidrolisis sempurna, seluruh protein susu sapi sudah dipecah-pecah dengan sempurna. Susu jenis ini dikenal dengan sebutan susu nonalergenik. Susu ini digunakan pada bayi yang sudah timbul gejala alergi seperti eksim maupun asma.

Pada susu yang dihidrolisis parsial, protein susu sapi hanya dipecah sebagian saja. Maksudnya, supaya bayi nantinya juga mempunyai kekebalan terhadap susu sapi.

“Susu yang disebut sebagai susu hipoalergenik ini biasanya digunakan pada anak yang belum mempunyai gejala alergi, tetapi sudah tahu akan timbul alergi karena bapak-ibunya punya riwayat alergi,” tambah Dr Zaki.

Selain susu yang telah dihidrolisis, pemberian susu kedelai juga bisa digunakan untuk bayi yang mengalami ASS. Masalahnya, banyak bayi tak menyukai susu kedelai karena rasanya tidak enak. Sama seperti susu hidrolisis yang rasanya juga tidak begitu enak. Lagi pula, “Sekitar 30-40 persen bayi yang alergi susu sapi juga alergi terhadap susu kedelai,” ungkap Dr Zaki. Sayangnya, susu pengganti tersebut harganya lebih mahal!


Jelas beda!

Bedakah alergi susu sapi dengan intoleransi laktosa? Pertanyaan tersebut kerap diajukan oleh orangtua. “Jelas beda,” jawab Dr Zaki. Alergi susu sapi (ASS) umumnya karena tidak tahan dengan protein susu sapi, sedangkan intoleransi laktosa (IL) karena tidak tahan dengan laktosa.

Terjadinya IL karena kurangnya enzim laktase pada usus yang berfungsi untuk mencerna laktosa. Oleh karena itu, gejala yang terjadi biasanya berhubungan dengan saluran cerna dengan timbulnya diare.

IL bisa terjadi, baik pada orang dewasa, maupun anak-anak. Orang dewasa atau bahkan orangtua yang sudah berusia pertengahan umumnya mengalami IL. “Karena orangtua zaman dulu tidak terbiasa minum susu. Jadi, tidak terbentuk enzim laktasenya,” kata Dr Zaki.

Sebaliknya, anak sekarang sudah minum susu sejak kecil sehingga mereka lebih terbiasa. Dengan minum susu, tubuh akan merangsang enzim laktase. Hanya saja, bila rangsangan tersebut malah menimbulkan diare terus-menerus, pemberian susu harus dihentikan sesaat. Dikhawatirkan, kerusakan usus yang terjadi akan menetap dan kematangan saluran cerna tidak akan terjadi. Akibatnya, kondisi tersebut akan terbawa hingga dewasa.

IL juga bisa terjadi pada anak yang sedang mengalami diare. Menurut Dr Zaki, kondisi itu disebabkan usus pada anak yang diare rusak sehingga enzim laktase berkurang. Dengan kata lain, IL bisa terjadi pada anak yang sedang diare atau sebaliknya.

Jika hal ini yang terjadi, anak bisa dibantu dengan tambahan enzim laktosa. Bisa juga diberikan susu rendah laktosa. “Bila sudah sembuh, anak baru bisa diberi susu kembali,” katanya./*



kompas.com
Sabtu, 20 Desember 2008 | 09:02 WIB

ASI, Tak Hanya AA dan DHA


BANDUNG, KOMPAS. com - Bayi yang mengkonsumsi air susu ibu (ASI) mendapat kandungan "Gangliosida (GA)" lebih banyak dibandingkan bayi yang mengkonsumsi susu biasa.

Hal tersebut disampaikan dr Yohanes Tri Nugroho Msi Med Spa dalam Road Show Seminar Building Your Child’s Brain Connection di Hotel Grand Aquila, Bandung.

Dikatakan, nutrisi terbaik untuk bayi adalah ASI karena dalam ASI terdapat banyak zat gizi yang diperlukan untuk perkembangan otak yang sehat, salah satunya adalah GA.

"GA dalam ASI berperan untuk pembentukan memori dan fungsi umum otak besar serta sebagai alat konektivitas sel otak bayi," ucapnya.

Meskipun begitu, kandungan GA dalam susu biasa sama sekali tidak berbahaya. Dikatakannya hingga saat ini belum ada riset yang menunjukkan efek negatif dari GA yang terkandung dalam susu biasa.

Sementara Ratna Siswati, Asisten Nutritionist Anmum, mengatakan GA sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Dijelaskannya, bahwa ketika lahir, bayi memiliki 100 miliar sel otak yang belum terhubung dan GA diperlukan untuk menghubungkan sel-sel otak tersebut.

Jadi, tak cukup hanya dengan AA dan DHA saja. GA juga diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan anak, ucapnya,

Saat ini ibu-ibu muda Indonesia sangat tertarik pada nutrisi untuk perkembangan otak anak. Kini, ada penemuan baru berupa nutrisi GA yang ternyata fungsinya tidak kalah penting dari AA dan DHA.,


kompas.com
Rabu, 11 Maret 2009 | 20:32 WIB

Senin, 16 Maret 2009

dduhhhh...


addduuhhh.......lemasnya klo kembali diare.....
padahal baru beberapa bulan yang lalu mencret-mencret sekarang dah mulai lagi. Tapi klo yang lalu aq diare karena ganti susu dan barangkali susu yang baru gak cocok untuk aq, nah klo sekarang lain, badan panas dari kepala samapai ujung kaki, apalagi bagian perut juga panas. Selain itu bentuk dan tekstur serta aroma pup aq juga lain, seperti.....^SENSOR^.


Untung aja bunda cepat tanggap, begitu aq diare untuk pertama kalinya, bunda segera melakukan pertolongan pertama, berupa ciuman sehingga aq merasa sedikit nyaman. Dengan sigap bunda segera membersihkan tubuhku dari benda-benda yang tidak diinginkan karena kebetulan aq lagi tidak pakai pempers. Setelah selesai bunda lalu memasangkan pempers biar pup aq tidak tercecer kemana-mana, lalu dilanjutkan dengan pertolongan kedua, yaitu minum obat mencret yang kebetulan masih ada serta obat penurun panas. Kebetulan persediaan pempers aq udah habis, bunda lalu menghubungi ayah yang lagi kerja, titip beliin pempers. Dalam waktu 15 menit ayah sudah datang membawa pesanan bunda, dan ayah langsung memeluk dan mencium aq,hehehe...aq jadi malu...tapi senang.


Dari pukul 4 sore pertama kalinya aq mencret sampai pukul 7 sore sudah 6 kali aq pup dan total semalam aq pup sampai 9 kali. Duhhh....lemesnya.....bunda pun begadang jagain aq,takut kenapa-kenapa karena badanku panas, sementara ayah pukul 2.30 dinihari udah bobok.


Rencananya klo sampai sore nanti masih belum baikkan mau dibawa ke dokter aja, takut nanti lama-lama jadi kenapa-kenapa pula...

mmmmhhh....smoga aja udah sembuh......amin.^o^

Jumat, 13 Maret 2009

ANEKA OBAT TRADISIONAL UNTUK ANAK


Berikut sejumlah obat dan bumbu dapur yang biasa digunakan sekaligus kegunaannya :


Bawang Merah

Untuk menurunkan demam.
parut bawang merah secukupnya, balurkan di tubuh bayi/anak.Untuk borok, 3 siung bawang merah dan 2 jari rimpang kunyit dicuci,diparut, lalu dicampur dengan 2 sendok minyak kelapa baru.
Hangatkan diatas api kecil sambil diaduk.Setelah dingin, oleskan pada bagian tubuh yang sakit sebanyak 2 kali sehari.Untuk masuk angin, 8 siung bawang merah, dicuci, tumbuk halus, campurdengan air kapur sirih secukupnya. Balurkan di punggung, leher, perut dan kaki.


Jahe

Untuk menghilangkan masuk angin, perut kembung dan kolik pada anak.
Caranya, 1/4 sendok teh bubuk jahe kering dilarutkan dalam 1/2 cangkir air panas. Berikan 1-2 kali per hari sesuai umurnya.


Kunyit (kunir)

Untuk diare.
Caranya 1/2 jari kunyit dan 3 lembar daun jambu biji muda segar dihaluskan, campur dengan 1/2 cangkir air, lalu diperas. Setelah disaring, diminumkan pada anak . Untuk kulit berjamur atau becak putih jamur/ruam popok karena pemakaian diapers, parut kunyit lalu oleskan.


Daun jambu Biji (jambu klutuk, jambu batu)

Untuk diare
Caranya 3 lembar daun jambu biji muda dan segar dicuci bersih, tumbuk halus, beri 1/2cangkir air matang hangat, diperas dan diambil airnya.Beri garam secukupnya sebelum diminumkan pada anak.Air perasan diberikan pada anak sekehendaknya.


Belimbing wuluh (belimbing asam, belimbing buluk)

Biasanya digunakan untuk obat batuk anak.
Caranya, kukus (dalam panci kecil tertutup selama beberapa jam) satu genggam (sekitar 11-12 gram) bunga belimbing wuluh segar, 5 butiradas, 1 sendok makan gula batu dan 1/2 gelas air. Saring dan minumkan 2-3 kali per hari dengan dosis sesuai usia anak.


Mengkudu (pace)

Untuk meringankan perut kembung pada bayi.
Caranya, panaskan daun mengkudu diatas api beberapasaat, lalu olesi minyak kelapa segar / yang baru. Tempelkan pada perut anak sewaktu hangat. Bisa diulang beberapa kali.


Kemiri

Berkhasiat menyuburkan rambut bayi.
Caranya, minyak kemiri dioleskan pada kepala bayi/anak sambil dipijat perlahan setiap malam. Pagi hari rambut disampo dan dibilas dengan air hangat hingga bersih. Minyak kemiri ini
lebih baik yang sudah jadi.


Air Kelapa Muda

Dapat digunakan untuk obat muntaber
Karena air kelapa muda banyak mengandung mineral kalium, yang banyak keluar ketika anak muntaber. Dosisnya tak ada takarannya, sekendak anak.


Brotowali (Putrawali, andawali)

Untuk pemakaian luar bermanfaat menyembuhkan luka-luka dan gatal-gatal akibat kudis (scabies).
Caranya, 2-3 jari batang brotowali dipotong kecil-kecil, rebus dengan 6 gelas air. Setelah mendidih, biarkan selama 1/2 jam. Saring air dan gunakan untuk mengobati luka serta gatal-gatal.


Jeruk Nipis

Untuk mencairkan dahak dan obat batuk anak.
Caranya, campur 1 sdm air perasan jeruk nipis, 3 sdm madu murni, 5 sdm air matang, lalu ditim selama 30 menit. Takaran minum bayi antara usia 6-1 tahun : 2 kali 1/2 sdt ; anak 1-3 tahun : 2 kali 1 sdt; anak 4-5 tahun : 2 kali 1 1/2 sdt. Cara lain, potong 1 buah jeruk nipis, peras airnya, taruh dalam gelas /cangkir. Tambahkan kecap manis, aduk. Takaran minum untuk anak, 3 kali 1 sdt per hari.


Kentang

Untuk obat bisul.
Caranya, parut kentang dan peras. Oleskan sari air dan parutan kendtang segar dioleskan pada bisul 3-4 kali per hari Bisa pula untuk ruam kulit yang disebabkan biang keringat atau keringat buntet (miliaria), karena sifat kentang yang mendinginkan.


Banglai (bangle, panglai, manglai, pandhiyang)

Untuk menenangkan bayi dan anak yang sering rewel pada malam hari
Caranya balurkan parutan banglai segal di kening dan badan anak.


Minyak zaitun

Untuk mengobati kerak kepala atau ketombe pada bayi (craddle crap)
Caranya sebanyak 1-2 kali per hari dioleskan pada kulit kepala.


Lidah buaya

Untuk mengobati luka bakar pada bayi dan anak.
Caranya dengan mengoleskan daging daun lidah buaya pada seluruh permukaan kulit yang menderita luka bakar.


Daun pepaya.

Berkhasiat meningkatkan nafsu makan, menyembuhkan penyakit malaria, panas,beri-beri dan kejang perut.
Caranya, daun pepaya muda ditumbuk, diperas, saring, lalu minum airnya.


Temulawak (koneng gede)

Untuk menambah nafsu makan.
Caranya, 150 gram temulawan 50 gram kunyit segar dikupas, iris tipis,rendam dalam 500cc madu kapuk dalam toples tertutup selama 2 minggu.Setelah 2 minggu ramuan siap untuk digunakan.Aturan minum 1 sendok makan madu temulawak dilarutkan dalam 1/2 cangkir air hangat, diminum pagi dan sore.


Kencur

Untuk meringankan batuk pada anak.
Caranya, 5 gram kencur segar dicuci bersih, parut, lalu tambahkan 2 sdm air putih matang dan diaduk. Setelah disaring, tambahkan 1 sdm madu murni. Berikan 2-3 kali sehari.


Adas (fennel)

Teh adas dapat dipakai untuk meringankan bayi yang menderita kolik atau yang kesakitan akibat erupsi (keluarnya) gigi,untuk obat masuk angin dan kolik.
Caranya 1sdt teh adas dilarutkan dengan 1 cangkir air mendidih, aduk
hingga larut. Setelah agak dingin, larutan dapat diminumkan pada bayi/anak dengan takaran sesuai umurnya.



sumber
Mailing List Nakita